Rabu, 18 Maret 2009

tugas fiqih

Ushul Fiqih Dan Perananannya Dalam Pengambilan Keputusan Hukum Dan Ibadah
Friday, 31 August 2007 00:10 WIB
Setelah Islam berkembang dan meluas, dan bangsa Arab sudah bergaul
dengan bangsa-bangsa lain, maka dibuatlah peraturan-peraturan/kaedah
bahasa Arab. Hal ini, selain untuk menjaga orisinilitas bahasa itu
sendiri sebagai bahasa Al-Qur'an , juga untuk memelihara dari pengaruh
bahasa lain, serta untuk lebih mempermudah bagi bangsa lain
mempelajarinya.
WASPADA Online


Oleh H. Fachrurrozy Pulungan, SE


Muqaddimah

Setelah Islam berkembang dan meluas, dan bangsa Arab sudah bergaul dengan bangsa-bangsa lain, maka dibuatlah
peraturan-peraturan/kaedah bahasa Arab. Hal ini, selain untuk menjaga orisinilitas bahasa itu sendiri sebagai bahasa Al-
Qur'an , juga untuk memelihara dari pengaruh bahasa lain, serta untuk lebih mempermudah bagi bangsa lain
mempelajarinya.


Disamping hal-hal tersebut, banyak pula peristiwa-peristiwa yang timbul dalam lapangan kehidupan, sehingga ulamaulama
yang tersebar diberbagai negeri-negeri baru itu ada yang cara berpikirnya dipengaruhi oleh lingkungan dan
tempatnya berada. Karenanya, masing-masing ulama dalam melakukan ijtihad (pembicaraan tentang pembentukan atau
pengembangan hukum) dan pengambilan keputusan hukum/istimbath berjalan sendiri-sendiri yang dipandangnya benar
sesuai kapasitas keilmuan yang dimilikinya.Keadaan seperti ini tentu saja menimbulkan perbedaan pendapat, baik
sebagai keputusan hakim maupun sebagai fatwa, bukan hanya antara satu negri dengan negri yang lain, bahkan antara
satu daerah dengan daerah lain dalam satu negeri.


Sejarah Ushul Fiqih

Akibat dari perbedaan-perbedaan pendapat para ulama, timbullah satu pemikiran untuk membuat peraturanperaturan
dalam ijtihad dan penetapan hukum, yang pada gilirannya dapat diperoleh pendapat yang benar dan setidak-tidaknya
agar dapat memperpendek jarak perbedaan-perbedaan pendapat tersebut. Dan peraturan-peraturan tersebut dikenal
sebagai ilmu Ushul Fiqih. Ilmu ini diperkenalkan pada abad ke tiga Hijriah secara sistematis oleh imam Syafi'i
rahimahullah yang kemudian dianggap sebagai perintis atau bapak yurisprudensi dalam Islam. Dan berdasar nash pula
para mujtahid mengambil 'illat/sebab yang menjadi landasan hukum serta mencari maslahat yang menjadi tujuan
hukum/maqashid al syari'ah, sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Qur'an maupun Sunnah Nabi SAW.


Definisi Ushul Fiqih

Dari segi ketatabahasaan Arab, kata Ushul Fiqih adalah 'tarkib idhofi'/kata majemuk , terdiri daru dua suku kata, ushul
dan fiqih yang menjadi 'mudhof/keterangan dan mudhof ilaih/yang menerangkan. Kata Ushul adalah jamak dari akar
kata 'ashl' yang menurut bahasa berarti 'sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain', sedang menurut istilah berarti
'dalil'. Sedang kata Fiqih menurut bahasa berarti 'pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu ucapan dan
perbuatan, seperti diisyaratkan Allah dalam firman-Nya dalam surah an Nisa' ayat 78 "famalihaulai al qoumi la yakaduna
yafqohuna hadis". Kata yafqohuna bermakna 'memahami'. Demikian juga dalam hadis Nabi SAW yang menyatakan "
man yuridallahu bihi khoiran yufaqqihu fiddin"/barang siapa yang dikendaki Allah sebagai orang yang baik, Allah akan
memberikan pemahaman kepadanya dalam persoalan-persoalan agama. (H. Muttafaqun 'alaih).


Sebagaimana dikatakan Abdul Wahhab Khallaf bahwa Fiqih adalah kumpulan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan
dari dalil-dalil yang terperinci. Dari pengertian ini maka dapat diketahui, bahwa pembahasan ilmu Fiqih adalah tentang
hukum-hukum yang rinci pada setiap perbuatan manusia, baik halal, haram, wajib, sunnat, makruh dan mubah beserta
dalilnya masing-masing. Sementara itu ulama mendefinisikan Ushul Fiqih adalah kaedah-kaedah yang menjelaskan
Waspada Online
http://www.waspada.co.id Menggunakan Joomla! Generated: 18 March, 2009, 15:10
metode, seperti diungkapkan Prof. Abu Zahrah dalam kitab Ushul Fiqihnya " al 'ilmu bilqowa'idillati tarsumu al manahiju
liistimbathi al ahkami al 'amaliyati min adillatiha al tafshiliyati"/ilmu tentang kaedah-kaedah yang menggariskan jalanjalan
untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci.


Hubungan Ushul Fiqih dengan Fiqih

Hubungan ilmu Ushul Fiqih dengan Fiqih adalah seperti hubungan ilmu Mantiq/logika dengan filsafat, bahwa manthiq
merupakan kaedah berpikir yang memelihara akal, agar tidak terjadi kekacauan dalam berpikir. Selain itu, fungsi Ushul
Fiqih adalah membedakan antara istinbath yang benar dengan yang salah. Sebagaimana ilmu Nahu berfungsi untuk
membedakan antara susunan bahasa yang benar dengan susunan bahasa yang salah. Demikian pula dengan ilmu
Ushul Fiqih, merupakan kaedah yang memelihara fuqoha/ahli fiqih agar tidak terjadi kesalahan di dalam menggali dan
menetapkan hukum.


Obyek Pembahasan Ushul Fiqih

Sesuai dari keterangan tentang pengertian ilmu Ushul Fiqih, maka yang menjadi obyek pembahasan ilmu Ushul Fiqih
meliputi:


(1).Pembahasan tentang dalil-dalil/hukum syara', yaitu macam-macamnya, rukun atau syarat masing-masing dari ragam
dalil itu, kekuatan dan tingkatan-tingkatannya.


(2). Pembahasan tentang hukum, yaitu pembahasan secara umum, tidak dibahas secara rinci bagi setiap perbuatan.
Pembahasan tentang hukum ini meliputi macam-macam hukum dan syarat-syaratnya. Dan dalam hal ini dibagi kepada:


a). Yang menetapkan hukum/al hakim ( yaitu Allah SWT). "Inna al hukmu illalloh". Q.S. al An'am. A.57

b). Obyek hukum atau perbuatan yang dihukumkan/mahkum fih, yaitu perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang
dihukumkan padanya, sebagai akibat dari bermacam isi dan maksud yang terkandung dalam firman Allah dan sabda
Nabi Muhammad SAW.


c). Subyek hukum atau yang menanggung hukumnya/mahkum 'alaih, yaitu orang mukallaf, dimana perbuatannya
menjadi tempat berlakunya hukum Allah. Seperti misalnya, firman Allah "aqimus sholah."/dirikan shalat. Perintah ini
ditujukan kepada orang mukallaf yang dapat mengerjakan shalat, bukan ditujukan kepada anak-anak atau orang gila.
Hak-hak Allah maupun hak-hak manusia, bagaimanapun juga macamnya, tidak dibebankan kecuali kepada orang yang
mempunyai kemampuan. Karenanya kemampuan orang mukallaf menjadi dasar adanya taklif/pertanggungan jawab.


(3). Pembahasan tentang kaedah (= teori yang diambil dari atau menghimpun masalah-masalah fiqih yang bermacammacam
sebagai hasil ijtihad para mujtahid), yaitu yang digunakan sebagai jalan untuk memperoleh hukum dari dalildalilnya,
antara lain mengenai ragamnya, kehujahannya dan hukum-hukum dalam mengamalkannya.


(4). Pembahasan tentang ijtihad, yaitu pembicaraan tentang berbagai hal, syarat-syarat bagi orang yang boleh
melakukan ijtihad, tingkatan-tingkatan orang dilihat dari kacamata ijtihad dan hukum-hukum melakukan ijtihad.


Hukum Syara'

Salah satu Ushul Fiqih meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu Fiqih
meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yaitu ketetapan Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan
Waspada Online
http://www.waspada.co.id Menggunakan Joomla! Generated: 18 March, 2009, 15:10
orang-orang mukallaf, baik berupa tuntutan perintah atau larangan/iqtidha', pilihan/takhyir, maupun sebab akibat/wadh'i.
Dan yang dimaksud dengan ketetapan Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf;
seperti hukum haram, wajib, sunnat (sunnah), makruh, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani') dan lainnya.


Seperti hubungan antara pembagian harta pusaka dengan kematian seseorang, di mana kematian seseorang menjadi
sebab berhaknya ahli waris terhadap pemilikan harta pusaka dari orang yang mati. Bisa juga hubungan antara dua hal,
yang satu menjadi syarat bagi terwujudnya yang lain, mengambil wudhu' misalnya adalah syarat untuk mengerjakan
shalat atau syarat adanya saksi bagi sahnya suatu pernikahan. Dengan demikian disimpulkan, bahwa hukum syara'
dibagi menjadi dua hal, yaitu 1) yang berupa iqtidha' dan takhyir disebut hukum taklifi. 2). Hukum yang menghubungkan
antara dua hal (sebab-akibat) disebut hukum wadh'i.


Sumber Hukum

Kata dalil (jamaknya al adillah) menurut bahasa berarti 'petunjuk' kepada sesuatu yang dapat menyampaikan dengan
pandangan yang benar dan tepat kepada hukum syara'i yang 'amali (al mursyidu ila al mathlub). Artinya, dalil yang dapat
menunjuk dan mengatur bagaimana melaksanakan sesuatu amalan yang syar'i dengan cara yang tepat dan benar baik
secara qoth'i/pasti maupun zhanni/samar./ma yustadallu binnadzhori al shohihi fihi 'ala hukmin syar'iyi 'amali 'ala sabili al
qath'i awi al dzhonni. Karenanya, sepakat para ulama bahwa dalil-dalil hukum dalam menggali, mengembangkan serta
menetapkan hukum adalah: 1). Al-Qur'an, 2). as Sunnah, 3). Ijma', 4). Fatwa Sahabat 5). Qiyas. Dan selebihnya belum
merupakan kesepakatan, yaitu; Ihtihsan, Mashalih Mursalah, Istishob, 'Urf, Saddu al dzar'i.


1. Al-Qur'an adalah kitab yang merupakan kumpulan firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
dan dinukilkan dengan jalan mutawatir dan dengan bahasa Arab. Ke Araban Quran merupakan bagian dari Al-Qur'an.
Karena itu terjemahannya tidak dinamakan Quran. Jika kita shalat dengan membaca terjemahannya, maka shalatnya
tidak sah. Sebagaimana disebutkan bahwa kehujjahan Al-Qur'an terletak pada kebenaran dan kepastian
ILMU DLORURI DAN ILMU MUHTASAB
ILMU DLORURI yaitu:
ilmu yang masih bisa berubah hukumnya asal kata: dlorro-yudlorru-dloriiron يضcontoh kasus: babi haram, tetapi bisa menjadi halal bila dalam keadaan dlorurot.
Dalil Naqli: Al Maidah 33.
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya[395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.
Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah[396], (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini[397] orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku.
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.
Maka barang siapa terpaksa[398] karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [394].
Ialah: darah yang keluar dari tubuh, sebagaimana tersebut dalam surat Al An-aam ayat 145.[395].
Maksudnya ialah: binatang yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas adalah halal kalau sempat disembelih sebelum mati.[396].
Al Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. Orang Arab Jahiliyah menggunakan anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak.
Caranya ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu.
Setelah ditulis masing-masing yaitu dengan: lakukanlah, jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka'bah. Bila mereka hendak melakukan sesuatu maka mereka meminta supaya juru kunci Ka'bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. Kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, maka undian diulang sekali lagi.[397].
Yang dimaksud dengan hari ialah: masa, yaitu: masa haji wada', haji terakhir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w.[398
Maksudnya: dibolehkan memakan makanan yang diharamkan oleh ayat ini jika terpaksa.
ILMU MUHTASAB yaitu: ilmu yang sudah baku hukumnyaasal kata: hasabacontoh kasus: qishaashDalil naqli:


Pengertian Jinayat,Qisash,Diyat dan Ta'zir
Pengertian Jinayat

Jinayah menurut fuqaha' ialah perbuatan atau perilaku yang jahat
yang dilakukan oleh seseorang untuk mencerobohi atau mencabul
kehormatan jiwa atau tubuh badan seseorang yang lain dengan sengaja.

Penta`rifan tersebut adalah khusus pada kesalahan-kesalahan
bersabit dengan perlakuan seseorang membunuh atau menghilangkan
anggota tubuh badan seseorang yang lain atau mencederakan atau
melukakannya yang wajib di kenakan hukuman qisas atau diyat.

Kesalahan-kesalahan yang melibatkan harta benda, akal fikiran dan
sebagainya adalah termasuk dalam jinayah yang umum yang tertakluk di
bawahnya semua kesalahan yang wajib dikenakan hukuman hudud, qisas,
diyat atau ta`zir.

Faedah dan manafaat daripada Pengajaran Jinayat :-

1) Menjaga keselamatan nyawa daripada berlaku berbunuhan sesama
sendiri dan sebagainya

2) Menjaga keamanan maruah di dalam masyarakat daripada segala
fitrah tuduh-menuduh.

3) Menjaga keamanan maruah di dalam harta benda dan nyawa daripada
kecurian, ragut dan lain-lain.

4) Berhubung dengan keamanan negara dan menyelenggarakan
keselamatan diri.

5) Perkara yang berhubung di antara orang-orang Islam dengan
orang-orang kafir di dalam negara Islam Pembunuhan

www.mail-archive.com/keluarga-islam@yahoogroups.com/msg14851.html - 7k - Tembolok - Halaman sejenis

PEMBUNUHAN
Macam-macam pembunuhan dan hukumnya :

Pembunuhan ada 3 macam (1) Pembunuhan yang disengaja (Qatlul ‘amad); (2) Pembunuhan yang tidak disengaja (Qatlul syibhul ‘amad); dan (3) Pembunuhan yang tidak ada unsur membunuh (Qatlul Khatha’)




1. Pembunuhan yang disengaja (Qatlul ‘Amad)

Ialah pembunuhan yang direncanakan, dengan cara dan alat yang bisa (biasa) mematikan. Seperti :

• Membunuh dengan ; menembak, melukai dengan alat yang tajam, memukul dengan alat-alat yang berat, dan alat-alat yang lain.

• Membunuh dengan ; memasukkan dalam sel yang tidak ada udaranya, disekap dalam es dll.

• Membunuh dengan ; diberi racun, diberi obat yang tidak sesuai, disuntik dengan obat yang bisa mematikan.

• Membunuh dengan ; dibiarkan tidak diberi makan, minum dll.

Pembunuhan yang disengaja tersebut wajib diqishash, sebagaimana firman Allah QS. An Nisaa: 93 dan dipertegas dengan hadits rasulullah, ‘’Tidak halal (haram) membunuh orang muslim, kecualiada (salah satu) 3 sebab : kafir sesudah iman, berzina sesudah kawin dan membunuh oran g tanpa hak, baik karena dhalim dan permusuhan. (HR. Tirmidzy dan Nasaâ’i)



Orang yangmembunuh tanpa ada hak, harus diqishash, harus dibunuh juga. Kalau ahli waris (yang terbunuh) memaafkan pembunuhan tersebut, pembunuhan tidak diqishash (dihukum bunuh) tetapi harus membayar diyah yang besar, yaitu harus membayar dengan seharga 100 ekor unta tunai, pada waktu itu juga. Hal ini selaras dengan hadits rasulullah, ‘Barang siapa yang membunuh dengan sengaja, maka ia diserahkan pada keluarga terbunuh. Apabila mereka mengkehendaki maka membunuhnya atau minta diyah dengan 30 ekor unta hiqqah, 30ekor unta jadzaâ’ah dan 40 ekor unta khalafah (jumlahnya 100 ekor unta). Hasil perdamaian itu untuk mereka (ahli waris si terbunuh). Demikian itu untuk memperkeras terhadap pembunuhan. (HR. Tirmidzi)



2. Pembunuhan tidak sengaja (Qatlul syibhul ’amad)

Pembunuhan tidak sengaja ialah perbuatan terhadap diri seseorang dengan alat atau sesuatu yang biasanya tidak mematikan. Tetapi seseorang itu mati karena perbuatan atau tindakannya. Contoh orang memukul oran g lain dengan sapu lidi kemudian yang dipukul mati.



Pembunuhan tidak sengaja tidak kena hukuman qishash tetapi pembunuhnya harus membayar diyat besar, sebagaimana diyat bagi pembunuh sengaja yang dimaafkan ahli waris terbunuh. Diyat itu boleh dibayar selama 3 tahun dengan angsuran setiap tahun 1/3-nya.



3. Pembunuhan tidak ada unsur membunuh (Qatlul Khathaâ’)

Pembunuhan yang tidak ada unsur membunuh ialah perbuatan yang tidak ditujukan kepada seseorang tetapi seseorang mati karena perbuatannya. Misalnya orang melempar batu ke hutan tiba-tiba oran g mati terkena batu tersebut.



Orang membunuh orang lain tidak sengaja wajib memerdekakan seorang budak mu’min adil



A. QISHASH

1. Pengertian Qishash

Menurut syaraâ’ qishash ialah pembalasan yang serupa dengan perbuatan pembunuhan melukai merusakkan anggota badan/menghilangkan manfaatnya, sesuai pelangarannya.



2. Qishash ada 2 macam :

a. Qishash jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuhan.

b. Qishash anggota badan, yakni hukum qishash atau tindak pidana melukai, merusakkan anggota badan, atau menghilangkan manfaat anggota badan.



3. Syarat-syarat Qishash

a. Pembunuh sudah baligh dan berakal (mukallaf). Tidak wajib qishash bagi anak kecil atau orang gila, sebab mereka belum dan tidak berdosa.

b. Pembunuh bukan bapak dari yang terbunuh. Tidak wajib qishash bapak yang membunuh anaknya. Tetapi wajib qishash bila anak membunuh bapaknya.

c. Oran g yang dibunuh sama derajatnya, Islam sama Islam, merdeka dengan merdeka, perempuan dengan perempuan, dan budak dengan budak.

d. Qishash dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, anggota dengan anggota, seperti mata dengan mata, telinga dengan telinga.

e. Qishash itu dilakukan dengn jenis barang yang telah digunakan oleh yang membunuh atau yang melukai itu.

f. Oran g yang terbunuh itu berhak dilindungi jiwanya, kecuali jiwa oran g kafir, pezina mukhshan, dan pembunuh tanpa hak. Hal ini selaras hadits rasulullah, ‘Tidakklah boleh membunuh seseorang kecuali karena salah satu dari tiga sebab: kafir setelah beriman, berzina dan membunuh tidak dijalan yang benar/aniaya’ �(HR. Turmudzi dan Nasaâ’)



4. Pembunuhan olah massa / kelompok orang

Sekelompok oran g yang membunuh seorang harus diqishash, dibunuh semua..



5. Qishash anggota badan

Semua anggota tubuh ada qishashnya. Hal ini selaras dengan firman-Nya, ‘Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.’ (QS. Al-Maidah : 45)
B. DIYAT
1. Pengertian Diat

Diyat ialah denda pengganti jiwa yang tidak berlaku atau tidak dilakukan padanya hukuman bunuh.

a. Bila wali atau ahli waris terbunuh memaafkan yang membunuh dari pembalasan jiwa.

b. Pembunuh yang tidak sengaja

c. Pembunuh yang tidak ada unsur membunuh.



2. Macam-macam diyat

Diyat ada dua macam :

a. Diyat Mughalazhah, yakni denda berat

Diyat Mughalazhah ialah denda yang diwajibkan atas pembunuhan sengaja jika ahli waris memaafkan dari pembalasan jiwa serta denda aas pembunuhan tidak sengaja dan denda atas pembunuhan yang tidak ada unsur-unsur membunuh yang dilakukan dibulan haram, ditempat haram serta pembunuhan atas diri seseorang yang masih ada hubungan kekeluargaan. Ada pun jumlah diat mughallazhah ialah : 100 ekor unta terdiri 30 ekor unta berumur 3 tahun, 30 ekor unta berumur 4 tahun serta 40 ekor unta berumur 5 tahun (yang sedang hamil).



Diat Mughallazah ialah :

• Pembunuhan sengaja yaitu ahli waris memaafkan dari pembalasan jiwa.

• Pembunuhan tidak sengaja / serupa

• Pembunuhan di bulan haram yaitu bulan Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab.

• Pembunuhan di kota haram atau Mekkah.

• Pembunuhan orang yang masih mempunyai hubungan kekeluargaanseperti Muhrim, Radhâ’ah atau Mushaharah.

• Pembunuhan tersalahdengan tongkat, cambuk dsb.

• Pemotongan atau membuat cacat angota badan tertentu.



b. Diyat Mukhaffafah, yakni denda ringan.

Diyat Mukhoffafah diwajibkan atas pembunuhan tersalah. Jumlah dendanya 100 ekor unta terdiri dari 20 ekor unta beurumur 3 tahun, 20 ekor unta berumur 4 tahun, 20 ekor unta betina berumur 2 tahun, 20 ekor unta jantan berumur 2 tahun dan 20 ekor unta betina umur 1 tahun.



Diyat Mukhoffafah dapat pula diganti uang atau lainya seharga unta tersebut. Diat Mukhoffafah adalah sebagai berikut :

• Pembunuhan yang tersalah.

• Pembunuhan karena kesalahan obat bagi dokter.

• Pemotongan atau membuat cacat serta melukai anggota badan.



3. Ketentuan-ketentuan lain mengenai diat :

a. Masa pembayaran diyat, bagi pembunuhan sengaja dibayar tunai waktu itu juga. Sedangkan pembunuhan tidak sengaja atau karena tersalah dibayar selama 3 tahun dan tiap tahun sepertiga.

b. Diyat wanita separo laki-laki.

c. Diyat kafir dhimmi dan muâ’hid separo diat muslimin.

d. Diyat Yahudi dan Nasrani sepertiga diat oran g Islam.

e. Diyat hamba separo diat oran g merdeka.

f. Diyat janin, sepersepuluh diat ibunya, 5 ekor unta.



4. Diyat anggota badan :

Pemotongan, menghilangkan fungsi, membuat cacad atau melukai anggota badan dikenakan diyat berikut :

Pertama : Diyat 100 (seratus) ekor unta. Diat ini untuk anggota badan berikut :

a. Bagi anggota badan yang berpasangan (kiri dan kanan) jika keduan-duanya potong atau rusak, yaitu kedua mata, kedua telinga, kedua tangan, kedua kaki, kedua bibir (atas bawah) dan kedua belah buah zakar.

b. Bagi anggota badan yang tunggal, seperti : hidung, lidah, dll..

c. Bagi tulang sulbi ( tulang tempat keluar air mani laki-laki)

Kedua : Diyat 50 ekor unta. Diyat ini untuk anggota badan yang berpasangan, jika salah satu dari keduanya ( kanan dan kiri) terpotong.

Ketiga : Diat 33 ekor unta ( sepertiga dari diatyang sempurna). Diyat ini terhadap :

a. Luka kepala sampai otak

b. Luka badan sampai perut

c. Sebelah tangan yang sakit kusta

d. Gigi-gigi yang hitam



Gigi satu bernilai 5 ekor unta. Kalau seseorang meruntuhkan satu gigi orang lain harus membayar dengan 5 ekor unta. Kalau meruntuhkan 2, harus membayar 10 ekor. Bagaimana kalau seseorang meruntuhkan semua gigiorang lain, apakah harus membayar 5 ekor unta kali jumlah gigi tersebut ? Ulama berbeda pendapat. Sebagian berpendapat : cukup membayar diyat 60 ekor unta (dewasa). Ulama lain berpendapat harus membayar 5 ekor unta kali jumlah gigi.



Hal Sumpah

Orang yang menuduh membunuh harus mengemukakan bukti dan oran g yang menolak tuduhan harus bersumpah. Apabila ada pembunuhan yang tidak diketahui pembunuhnya, wali dari yang terbunuh bisa menuduh kepada sesorang atatu suatu kelompok yang mempunyai kaitan dengan pembunuhan, yaitu menyebutkan data-data.



Data-data yang dikemukakan seperti :

ü Orang yang dituduh pernah bertengkar pada hari-hari sebelumnya

ü Orang yang dituduh pernah disakitkan hatinya.

ü Adanya alat yang hanya dimiliki oleh tertuduh

ü Adanya berita dari seseorang tertuduh kalau tidak menerima tuduhan bisa membela diri dengan bersumpah, bahwa ia betul-betul tidak membunuh.



KIFARAT PEMBUNUHAN
Pembunuh disamping dia wajib menyerahkan diri unutk dibunuh atau diat (denda) maka ia diwajibkan juga membayar kifarat. Diyat adalah jenis denda sebagai tanda penyesalan atau belasungkawa kepada keluarga korban. Sedang kifarat adalah jenis denda sebagai tanda taubat kepada Allah SWT.



Ada pun kifarat akibat pembunuhan adalah memerdekakan hamba yang Islam atau dia wajib puasa dua bulan secara berturut-turut. Hal ini selaras dengan QS. An Nisaa: 92



C. Ta'zir

Jarimah hudud bisa berpindah menjadi Jarimah Ta'zir bila ada syubhat, baik itu shubhat fi al fi'li, fi al fa'il, maupun fi al mahal. Demikian juga bila Jarimah hudud tidak memenuhi syarat, seperti percobaan pencurian dan percobaan pembunuhan. Bentuk lain dari jarimah ta'zir adalah kejahatan yang bentuknya ditentukan oleh ulil amri sesuai dengan nilai nilai, prinsip prinsip dan tujuan syari'ah, seperti peraturan lalu lintas, pemeliharaan lingkungan hidup, memberi sanksi kepada aparat pemerintah yang tidak disiplin dan lain lain.

Secara bahasa ta'zir merupakan mashdar (kata dasar) dari 'azzaro yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan, membantu. Ta'zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut dengan ta'zir, karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum untuk tidak kembali kepada jarimah atau dengan kata lain membuatnya jera. Sementara para fuqoha' mengartikan ta'zir dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh al Qur'an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Ta'zir sering juga disamakan oleh fuqoha' dengan hukuman terhadap setiap maksiyat yang tidak diancam dengan hukuman had atau kaffarat.

Bisa dikatakan pula, bahwa ta'zir adalah suatu jarimah yang diancam dengan hukuman ta'zir (selain had dan qishash diyat). Pelaksanaan hukuman ta'zir, baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nas atau tidak, baik perbuatan itu menyangkut hak Allah atau hak perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa. Hukuman dalam jarimah ta'zir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari'ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan benruk bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.

Abd Qodir Awdah membagi jarimah ta'zir menjadi tiga, yaitu:

1. Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiyat, seperti pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan pencurian yang bukan harta benda.

2. Jarimah ta'zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh syari'ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama.

3. Jarimah ta'zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.



Dalam menetapkan jarimah ta'zir, prinsip utama uang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharotan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta'zir harus sesuai dengan prinsip syar'i.

Hukuman hukuman ta'zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih diantara hukuman hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya. Hukuman hukuman ta'zir antara lain:

1. Hukuman Mati

Pada dasarnya menurut syari'ah Islam, hukuman ta'zir adalah untuk memberikan pengajaran (ta'dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukum ta'zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa foqoha' memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata mata, pembuat fitnah, residivis yang membahayakan. namun menurut sebagian fuqoha yang lain, di dalam jarimah ta'zir tidak ada hukuman mati.

2. Hukuman Jilid

Dikalangan fuqoha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta'zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama' Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta'zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta'zir adalah 39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali.

Sedangkan di kalangan madzhab Syafi'i ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu Yusuf. Sedangkan pendapat ketiga, hukuman jilid pada ta'zir boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat bahwa jarimah ta'zir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud.

Dalam madzhab Hambali ada lima pendapat. Tiga di antaranya sama dengan pendapat madzhab Syafi'i di atas. Pendapat ke empat mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan jarimahtidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain yang tidak sejenisnya. Pendapat ke lima mengatakan bahwa hukuman ta'zir tidak boleh lebih dari 10 kali. Alasannya ialah hadits nabi dari Abu Darda sebagai berikut: "Seorang tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam salah satu hukuman hudud".

3. Hukuman-Kawalan (Penjara Kurungan)

Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, Hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dai hukuman ini adalah satu hari, sedang batas tertinggi, ulama' berbeda pendapat. Ulama' Syafi'iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama' ulama' lain menyerahkan semuanya pada penguasa berdasarkan maslahat.

Kedua, Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya.

, Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya.

4. Hukuman Salib

Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah), dan untuk jarimah ini hukuman tersebut meruapakan hukuman had. Akan tetapi untuk jarimah ta'zir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum si terhukum disalib hidup hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalam menjalankan sholat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha' tidak lebih dari tiga hari.

5. Hukuman Ancaman (Tahdid), Teguran (Tanbih) dan Peringatan

Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta'zir, dengan syarat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Misalnya dengan ancama akan dijilid, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakannya lagi.

Sementara hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rosulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki maki orang lain dengan menghinakan ibunya. Maka Rosulullah saw berkata, "Wahai Abu Dzar, Engkau menghina dia dengan menjelek jelekkan ibunya. Engkau adalah orang yang masih dihinggapi sifat sifat masa jahiliyah."

Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari'at Islam dengan jalan memberi nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam al Qur'an sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.

6. Hukuman Pengucilan (al Hajru)

Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta'zir yang disyari'atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rosulullah pernah melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka'ab bin Malik, Miroroh bin Rubai'ah, dan Hilal bin Umaiyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak bicara, sehingga turunlah firman Allah:

"Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka mengira tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan menerima taubat mereka agar mereka bertaubat."



7. Hukuman Denda (tahdid)

Hukuman Denda ditetapkan juga oleh syari'at Islam sebagai hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut. Sabda Rosulullah saw, "Dan barang siapa yang membawa sesuatu keluar, maka atasnya denda sebanyak dua kalinya besrta hukuman." Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap orang yang menyembunyikan barang hilang.

KESIMPULAN

KESIMPULAN

Secara umum, pengertian Jinayat sama dengan hukum Pidana pada hukum positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Jarimah (kejahatan) dalam Hukum Pidana Islam (Jinayat) meliputi, jarimah hudud, qishash diyat dan ta'zir.

Ta'zir adalah hukuman yang tidak ditentukan oleh al Qur'an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Penentuan jenis pidana ta'zir ini diserahkan sepenuhnya kepada penguasa sesuai dengan kemaslahatan manusia.

Menurut hemat penulis, diantara jenis jenis hukuman ta'zir yang telah penulis kemukakan dalam pembahasan, tidak semuanya relevan untuk diterapkan pada zaman ini, seperti hukuman jilid dan salib karena dinilai sangat keji. Sementara mengenai hukuman mati dalam ta'zir, penulis sependapat dengan ulama' yang membolehkannya sepanjang sejalan dengan kemaslahatan manusia. Tetapi secara umum, mengenai jenis hukuman yang relevan untuk jarimah ta'zir ini harus disesuaikan dengan kejahatan yang dilakukan agar hukuman dalam suatu peraturan bisa paralel. Untuk menentukan hukuman yang relevan dan efektif, harus dipertimbangkan agar hukuman itu mengandung unsur pembalasan, perbaikan, dan perlindungan terhadap korban (Theori neo-klasik), serta dilakukan penelitian ilmiyah terlebih dahu

Minggu, 11 Januari 2009

Pengertian Fiqh

:: Ushul FiqhPengertian Ushul FiqhPengertian Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul dan kata Fiqh; dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu Syari'ah. Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh.Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa tersebut, maka Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh.Sedangkan menurut istilah, ashl dapat berarti dalil, seperti dalam ungkapan yang dicontohkan oleh Abu Hamid Hakim :Artinya:"Ashl bagi diwajibkan zakat, yaitu Al-Kitab; Allah Ta'ala berfirman: "...dan tunaikanlah zakat!."Dan dapat pula berarti kaidah kulliyah yaitu aturan/ketentuan umum, seperti dalam ungkapan sebagai berikut :Artinya:"Kebolehan makan bangkai karena terpaksa adalah penyimpangan dari ashl, yakni dari ketentuan/aturan umum, yaitu setiap bangkai adalah haram; Allah Ta'ala berfirman : "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai... ".Dengan melihat pengertian ashl menurut istilah di atas, dapat diketahui bahwa Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua kata, berarti dalil-dalil bagi fiqh dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi fiqh.Fiqh itu sendiri menurut bahasa, berarti paham atau tahu. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid al-Jurjaniy, pengertian fiqh yaitu :Artinya: "Ilmu tentang hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."Atau seperti dikatakan oleh Abdul Wahab Khallaf, yakni:Artinya:"Kumpulan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci".Yang dimaksud dengan dalil-dalilnya yang terperinci, ialah bahwa satu persatu dalil menunjuk kepada suatu hukum tertentu, seperti firman Allah menunjukkan kepada kewajiban shalat.Artinya:".....dirikanlah shalat...."(An-Nisaa': 77)Atau seperti sabda Rasulullah SAW :Artinya: "Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar (benda yang memabukkan)." (HR Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah).Hadits tersebut menunjukkan kepada keharaman jual beli khamar.Dengan penjelasan pengertian fiqh di atas, maka pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu dalil-dalil bagi hukum syara' mengenai perbuatan dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi pengambilan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.Tidak lepas dari kandungan pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata tersebut, para ulama ahli Ushul Fiqh memberi pengertian sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syari'ah. Misalnya Abdul Wahhab Khallaf memberi pengertian Ilmu Ushul Fiqh dengan :Artinya: "Ilmu tentang kaidah-kaidah (aturan-atura/ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-pemhahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."Maksud dari kaidah-kaidah itu dapat dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan, yakni bahwa kaidah-kaidah tersebut merupakan cara-cara atau jalan-jalan yang harus ditempuh untuk memperoleh hukum-hukum syara'; sebagaimana yang terdapat dalam rumusan pengertian Ilmu Ushul Fiqh yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah sebagai berikut :Artinya :"Ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggariskan jalan-jalan utuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci."Dengan lebih mendetail, dikatakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu yang menjelaskan jalan-jalan yang ditempuh oleh imam-imam mujtahid dalam mengambil hukum dari dalil-dalil yang berupa nash-nash syara' dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya, dengan memberi 'illat (alasan-alasan) yang dijadikan dasar ditetapkannya hukum serta kemaslahatan-kemaslahatan yang dimaksud oleh syara'. Oleh karena itu Ilmu Ushul Fiqh juga dikatakan :Artinya:"Kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada faqih (ahli hukum Islam) cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara'."

Ilmu muhtasab dan Dloruri

ILMU DLORURIyaitu: ilmu yang masih bisa berubah hukumnya asal kata: dlorro-yudlorru-dloriiron يضرcontoh kasus: babi haram, tetapi bisa menjadi halal bila dalam keadaan dlorurot.Dalil Naqli: Al Maidah 33. Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya[395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah[396], (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini[397] orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa[398] karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[394]. Ialah: darah yang keluar dari tubuh, sebagaimana tersebut dalam surat Al An-aam ayat 145.[395]. Maksudnya ialah: binatang yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas adalah halal kalau sempat disembelih sebelum mati.[396]. Al Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. Orang Arab Jahiliyah menggunakan anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak. Caranya ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. Setelah ditulis masing-masing yaitu dengan: lakukanlah, jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka'bah. Bila mereka hendak melakukan sesuatu maka mereka meminta supaya juru kunci Ka'bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. Kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, maka undian diulang sekali lagi.[397]. Yang dimaksud dengan hari ialah: masa, yaitu: masa haji wada', haji terakhir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w.[398]. Maksudnya: dibolehkan memakan makanan yang diharamkan oleh ayat ini jika terpaksa.ILMU MUHTASAByaitu: ilmu yang sudah baku hukumnya asal kata: hasaba. contoh kasus: qishaashDalil naqli: Al anam

Doa

A. Arti Doa / Do'aDoa adalah memohon atau meminta suatu yang bersifat baik kepada Allah SWT seperti meminta keselamatan hidup, rizki yang halal dan keteguhan iman. Sebaiknya kita berdoa kepada Allah SWT setiap saat karena akan selalu didengar olehNya.B. Tujuan Berdo'a / Berdoa- Memohon hidup selalu dalam bimbingan Allah SWT- Agar selamat dunia akhirat- Untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah SWT- Meminta perlindungan Allah SWT dari Setan yang terkutukC. Waktu-waktu yang tepat / mustajab untuk berdoa kepada Allah SWT- Ketika membaca AlQuran- Setelah Solat wajib- Pada saat tengah malam setelah sholat tahajud- Saat melaksanakan ibadah haji- Saat berpuasa wajib dan sunahD. Adab atau Tata cara Berdoa / berdo'a- Menghadap ke Kiblat / Ka'bah- Sebelum berdoa membaca basmalah, istighfar dan hamdalah. Kemudian diikuti salawa nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya.- Mengangkat kedua telapak tangan sebelum berdoa dan mengusap muka dengan telapak tangan setelah doa.- Melembutkan suara dan tenang saat berdoa- khusyuk, ikhlas dan serius- Berharap agar doanya diterima Allah SWT- Berdoa berulang-ulang di lain waktu untuk menunjukkan keseriusan kita agar dikabulkan oleh Allah SWT- Setelah berdoa ditutup dengan salawat nabi dan pujian pada Allah SWT.

Jinayat

Bab 1 : Pengertian JinayatJinayah menurut fuqaha' ialah perbuatan atau perilaku yang jahatyang dilakukan oleh seseorang untuk mencerobohi atau mencabulkehormatan jiwa atau tubuh badan seseorang yang lain dengan sengaja.Penta`rifan tersebut adalah khusus pada kesalahan-kesalahanbersabit dengan perlakuan seseorang membunuh atau menghilangkananggota tubuh badan seseorang yang lain atau mencederakan ataumelukakannya yang wajib di kenakan hukuman qisas atau diyat.Kesalahan-kesalahan yang melibatkan harta benda, akal fikiran dansebagainya adalah termasuk dalam jinayah yang umum yang tertakluk dibawahnya semua kesalahan yang wajib dikenakan hukuman hudud, qisas,diyat atau ta`zir.Faedah dan manafaat daripada Pengajaran Jinayat :-1) Menjaga keselamatan nyawa daripada berlaku berbunuhan sesamasendiri dan sebagainya2) Menjaga keamanan maruah di dalam masyarakat daripada segalafitrah tuduh-menuduh.3) Menjaga keamanan maruah di dalam harta benda dan nyawa daripadakecurian, ragut dan lain-lain.4) Berhubung dengan keamanan negara dan menyelenggarakankeselamatan diri.5) Perkara yang berhubung di antara orang-orang Islam denganorang-orang kafir di dalam negara Islam Pembunuhan

Bughot

Apa itu Bughat? Bughat atau bughoh adalah gerombolan (pemberontak) yang menentang kekuasaan negeri dengan kekerasan senjata, baik karena salah pengertian ataupun bukan. Kata bughoh jama’ dari baaghin artinya seorang penantang kekuasaan negeri dengan kekerasan senjata.[1] Yang dikatakan kaum bughat, ialah orang-orang yang menolak (memberontak) kepada Imam (pemimpin pemerintahan Islam). Adapun yang dikatakan Imam ialah pemimpin rakyat Islam yang mengurusi soal-soal kenegaraan dan keagamaanya. Adapun cara memberontak ialah dengan: -Memisahkan diri dari wilayah kekuasaan Imamnya. -Atau menentang kepada keputusan Imam, atau menentang perintahnya dengan jalan kekerasan senjata. -Orang-orang golongan manusia yang disebut bughat itu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: -Mempunyai kekuatan bala tentara serta senjatanya untuk memberontak Imamnya. -Mempunyai pimpinan yang ditaati oleh mereka. -Mereka berbuat demikian, disebabkan karena timbulnya perbedaan pendapat dengan Imamnya mengenai politik pemerintahannya, sehingga mereka beranggapan bahwa memberontaknya itu menjadi keharusan baginya. Adapun yang dikatakan Imamul Muslimin, ialah pemegang pemerintahan umum bagi kaum Muslimin, mengenai urusan agama dan urusan kenegaraannya dan dia diangkat berdasarkan bai’at (kesetiaan) dari masyarakatnya, entah langsung atau melalui wakil-wakilnya, yaitu: Para ulama, cendekiawan, dan para terkemuka yang disebut: Ahlul Hilli wal ‘aqdi. Pengangkatan Imam dianggap cukup dengan perantaraan mereka, karena mereka itu mudah untuk berkumpul dalam satu tempat, sehingga segala persoalan mudah diatasi/ diselesaikan.[2] Kaum Bughat bisa ditumpas dengan jalan: Mula-mula Imam mengutus utusannya untuk menghubungi mereka guna meminta alasan sebab-sebabnya mereka memberontak. Hal ini sebagaimana tindakan Khalifah Ali bin Abi Thalib ra dalam mengutus Ibnu Abbas untuk menghubungi golongan Nahrawan. Kalau disebabkan karena Imamnya berbuat kedzaliman, hendaknya Imam itu meninggalkan/ merobah perbuatannya itu supaya menjadi baik. Kalau Imam itu tidak merasakan bahwa dia itu tidak berbuat dhalim, hendaknya diadakan pertukaran fikiran antara Imam dengan pemimpin mereka (pemberontak). Kalau mereka terus membandel, Imam berhak memberikan ultimatum kepada mereka, dengan akan diadakannya tindakan tegas, bila mereka tidak segera menyerahkan diri. Kalau mereka terus membandel juga, Imam berhak untuk mengadakan tindakan dengan kekerasan senjata pula sebagai imbangan kepada perbuatan mereka.

QodhaF

Slogan Islam yang sesuai dengan segala zaman, saat ini diuji integritasnya di negera Pakistan dalam menjawab persoalan diskriminasi kekerasan kepada kaum wanita. Sudah 27 tahun lamanya wanita di Pakistan dihantui bayang-bayang penerapan hukum hadd zina yang sangat diskriminatif. Karena keberadaan mereka selalu menjadi bulan-bulanan hukum peninggalan rezim Ziaul Haq tersebut. Mereka tidak berkutik saat terjadi kekerasan pemerkosaan terhadap diri mereka. Banyak dari mereka dipaksa membisu dari pada melapor ke pihak berwajib, tapi malah dijebloskan dalam penjara, dengan dalih kodhaf(menuduh orang berbuat zina tanpa ada saksi yang menguatkan) karena tidak bisa memberikan bukti kuat ketika melaporkan terjadinya pemerkosaan kepada diri mereka.Kalau mengacu kepada konsep zina dalam Islam, orang bisa dikenakan pasal berzina apabila ada saksi empat orang dewasa yang melihat adegan tersebut. Namun apabila gagal menghadirkan empat saksi, maka sang pelapor bisa dikenakan pasal balik dengan nama kodhaf.

Pengertian Fiqh

:: FiqhTarikh at-TasyriSejarah pembentukan hukum Islam sejak zaman Rasulullah SAW sampai zaman modernDalam menyusun sejarah pembentukan dan pembinaan hukum (fiqh) Islam, di kalangan ulama fiqh kontemporer terdapat beberapa macam cara. Dua diantaranya yang terkenal adalah cara menurut Syekh Muhammad Khudari Bek (mantan dosen Universitas Cairo) dan cara Mustafa Ahmad az-Zarqa (guru besar fiqh Islam Universitas Amman, Yordania).Cara pertama, periodisasi pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Syekh Muhammad Khudari Bek dalam bukunya, Tarikh at-Tasyri' al-Islamy (Sejarah Pembentukan Hukum Islam). Ia membagi masa pembentukan hukum (fiqh) Islam dalam enam periode, yaitu:1.Periode awal, sejak Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi rasul;2.Periode para sahabat besar;3.Periode sahabat kecil dan thabi'in;4.Periode awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H;5.Periode berkembangnya mazhab dan munculnya taklid mazhab; dan6.Periode jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh Hulagu Khan [1217-1265]) sampai sekarang.Cara kedua, pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Mustafa Ahmad az-Zarqa dalam bukunya, al-Madkhal al-Fiqhi al-'Amm (Pengantar Umum fiqh Islam). Ia membagi periodisasi pembentukan dan pembinaan hukum Islam dalam tujuh periode. Ia setuju dengan pembagian Syekh Khudari Bek sampai periode kelima, tetapi ia membagi periode keenam menjadi dua bagian, yaitu:1.Periode sejak pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada tahun 1286 H; dan2.Periode sejak munculnya Majalah al-Al-Akam al-'Adliyyah sampai sekarang.Secara lengkap periodisasi sejarah pembentukan hukum Islam menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa adalah sebagai berikut.Periode PertamaMasa Rasulullah SAW. Pada periode ini, kekuasaan pembentukan hukum berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum Islam ketika itu adalah Al-Qur'an. Apabila ayat Al-Qur'an tidak turun ketika ia menghadapi suatu masalah, maka ia, dengan bimbingan Allah SWT menentukan hukum sendiri. Yang disebut terakhir ini dinamakan sunnah Rasulullah SAW. Istilah fiqh dalam pengertian yang dikemukakan ulama fiqh klasik maupun modern belum dikenal ketika itu. ilmu dan fiqh pada masa Rasulullah SAW mengandung pengertian yang sama, yaitu mengetahui dan memahami dalil berupa Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW.Pengertian fiqh di zaman Rasulullah SAW adalah seluruh yang dapat dipahami dari nash (ayat atau hadits), baik yang berkaitan dengan masalah aqidah, hukum, maupun kebudayaan. Disamping itu, fiqh pada periode ini bersifat aktual, bukan bersifat teori. Penentuan hukum terhadap suatu masalah baru ditentukan setelah kasus tersebut terjadi, dan hukum yang ditentukan hanya menyangkut kasus itu. Dengan demikian, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, pada periode Rasulullah SAW belum muncul teori hukum seperti yang dikenal pada beberapa periode sesudahnya. Sekalipun demikian, Rasulullah SAW telah mengemukakan kaidah-kaidah umum dalam pembentukan hukum Islam, baik yang berasal dari Al-Qur'an maupun dari sunnahnya sendiri.Periode KeduaMasa al-Khulafa' ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar) sampai pertengahan abad ke-l H. Pada zaman Rasulullah SAW para sahabat dalam menghadapi berbagai masalah yang menyangkut hukum senantiasa bertanya kepada Rasulullah SAW. setelah ia wafat, rujukan untuk tempat bertanya tidak ada lagi. Oleh sebab itu, para sahabat besar melihat bahwa perlu dilakukan ijtihad apabila hukum untuk suatu persoalan yang muncul dalam masyara'at tidak ditemukan di dalam Al-Qur'an atau sunnah Rasulullah SAW. Ditambah lagi, bertambah luasnya wilayah kekuasaan Islam membuat persoalan hukum semakin berkembang karena perbedaan budaya di masing-masing daerah.Dalam keadaan seperti ini, para sahabat berupaya untuk melakukan ijtihad dan menjawab persoalan yang dipertanyakan tersebut dengan hasil ijtihad mereka. Ketika itu para sahabat melakukan ijtihad dengan berkumpul dan memusyawarahkan persoalan itu. Apabila sahabat yang menghadapi persoalan itu tidak memiliki teman musyawarah atau sendiri, maka ia melakukan ijtihad sesuai dengan prinsip-prinsip umum yang telah ditinggalkan Rasulullah SAW. Pengertian fiqh dalam periode ini masih sama dengan fiqh di zaman Rasulullah SAW, yaitu bersifat aktual, bukan teori. Artinya, ketentuan hukum bagi suatu masalah terbatas pada kasus itu saja, tidak merambat kepada kasus lain secara teoretis.Periode KetigaPertengahan abad ke-1 H sampai awal abad ke-2 H. Periode ini merupakan awal pembentukan fiqh Islam. Sejak zaman Usman bin Affan (576-656), khalifah ketiga, parasahabat sudah banyak yang bertebaran di berbagai daerah yang ditaklukkan Islam. Masing-masing sahabat mengajarkan Al-Qur'an dan hadits Rasulullah SAW kepada penduduk setempat. Di Irak dikenal sebagai pengembang hukum Islam adalah Abdullah bin Mas'ud (Ibnu Mas'ud), Zaid bin Sabit (11 SH/611 M-45 H/665 M) dan Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) di Madinah dan Ibnu Abbas di Makkah. Masing-masing sahabat ini menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai dengan keadaan masyara'at setempat.Para sahabat ini kemudian berhasil membina kader masing-masing yang dikenal dengan para thabi'in. Para thabi'in yang terkenal itu adalah Sa'id bin Musayyab (15-94 H) di Madinah, Atha bin Abi Rabah (27-114H) di Makkah, Ibrahiman-Nakha'i (w. 76 H) di Kufah, al-Hasan al-Basri (21 H/642 M-110H/728M) di Basra, Makhul di Syam (Suriah) dan Tawus di Yaman. Mereka ini kemudian menjadi guru-guru terkenal di daerah masing-masing dan menjadi panutan untuk masyara'at setempat. Persoalan yang mereka hadapi di daerah masing-masing berbeda sehingga muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula. Masing-masing ulama di daerah tersebut berupaya mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah mereka, sehingga muncullah sikap fanatisme terhadap para sahabat tersebut.Dari perbedaan metode yang dikembangkan para sahabat ini kemudian muncullah dalam fiqh Islam Madrasah al-hadits (madrasah = aliran) dan Madrasah ar-ra'yu. Madrasah al-hadits kemudian dikenal juga dengan sebutan Madrasah al-Hijaz dan Madrasah al-Madinah; sedangkan Madrasah ar-ra'yu dikenal dengan sebutan Madrasah al-Iraq dan Madrasah al-Kufah.Kedua aliran ini menganut prinsip yang berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah al-Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada hadits karena mereka banyak mengetahui hadits-hadits Rasulullah SAW, di samping kasus-kasus yang mereka hadapi bersifat sederhana dan pemecahannya tidak banyak memerlukan logika dalam berijtihad. Sedangkan Madrasah al-Iraq dalam menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalam berijtihad.Hal ini mereka lakukan karena hadits-hadits Rasulullah SAW yang sampai pada mereka terbatas, sedangkan kasus-kasus yang mereka hadapi jauh lebih berat dan beragam, baik secara kualitas maupun kuantitas, dibandingkan dengan yang dihadapi Madrasah al-Hijaz. Ulama Hijaz (Hedzjaz) berhadapan dengan suku bangsa yang memiliki budaya homogen, sedangkan ulama Irak berhadapan dengan masyara'at yang relatif majemuk. Oleh sebab itu, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, tidak mengherankan jika ulama Irak banyak menggunakan logika dalam berijtihad.Pada periode ini, pengertian fiqh sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan pengertian ilmu, sebagaimana yang dipahami pada periode pertama dan kedua, karena fiqh sudah menjelma sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang mengandung pengertian mengetahui hukum-hukum syara' yang bersifat amali (praktis) dari dalil-dalilnya yang terperinci. Di samping fiqh, pada periode ketiga ini pun usul fiqh telah matang menjadi salah satu cabang ilmu keislaman. Berbagai metode ijtihad, seperti qiyas, istihsan dan istislah, telah dikembangkan oleh ulama fiqh. Dalam perkembangannya, fiqh tidak saja membahas persoalan aktual, tetapi juga menjawab persoalan yang akan terjadi, sehingga bermunculanlah fiqh iftirâdî (fiqh berdasarkan pengandaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa datang).Pada periode ketiga ini pengaruh ra'yu (ar-ra'yu; pemikiran tanpa berpedoman kepada Al-Qur'an dan sunnah secara langsung) dalam fiqh semakin berkembang karena ulama Madrasah al-hadits juga mempergunakan ra'yu dalam fiqh mereka. Di samping itu, di Irak muncul pula fiqh Syiah yang dalam beberapa hal berbeda dari fiqh Ahlusunnah wal Jama'ah (imam yang empat).Periode KeempatPertengahan abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H. Periode ini disebut sebagai periode gemilang karena fiqh dan ijtihad ulama semakin berkembang. Pada periode inilah muncul berbagai mazhab, khususnya mazhab yang empat, yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hanbali. Pertentangan antara Madrasah al-hadits dengan Madrasah ar-ra'yu semakin menipis sehingga masing-masing pihak mengakui peranan ra'yu dalam berijtihad, seperti yang diungkapkan oleh Imam Muhammad Abu Zahrah, guru besar fiqh di Universitas al-Azhar, Mesir, bahwa pertentangan ini tidak berlangsung lama, karena ternyata kemudian masing-masing kelompok saling mempelajari kitab fiqh kelompok lain.Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, ulama dari Mazhab Hanafi yang dikenal sebagai Ahlurra'yu (Ahlulhadits dan Ahlurra'yu), datang ke Madinah berguru kepada Imam Malik dan mempelajari kitabnya, al-Muwaththa' (buku hadits dan fiqh). Imam asy-Syafi'i, salah seorang tokoh ahlulhadits, datang belajar kepada Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Imam Abu Yusuf, tokoh ahlurra'yu, banyak mendukung pendapat ahli hadits dengan mempergunakan hadits-hadits Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah. kitab-kitab fiqh banyak berisi ra'yu dan hadits. Hal ini menunjukkan adanya titik temu antara masing-masing kelompok.Kitab-kitab fiqh pun mulai disusun pada periode ini, dan pemerintah pun mulai menganut salah satu mazhab fiqh resmi negara, seperti dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah yang menjadikan fiqh Mazhab Hanafi sebagai pegangan para hakim di pengadilan. Di samping sempurnanya penyusunan kitab-kitab fiqh dalam berbagai mazhab, dalam periode ini juga disusun kitab-kitab usul fiqh, seperti kitab ar-Risalah yang disusun oleh Imam asy-Syafi'i. Sebagaimana pada periode ketiga, pada periode ini fiqh iftirâdî semakin berkembang karena pendekatan yang dilakukan dalam fiqh tidak lagi pendekatan aktual di kala itu, tetapi mulai bergeser pada pendekatan teoretis. Oleh sebab itu, hukum untuk permasalahan yang mungkin akan terjadi pun sudah ditentukan.Periode KelimaPertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Periode ini ditandai dengan menurunnya semangat ijtihad di kalangan ulama fiqh, bahkan mereka cukup puas dengan fiqh yang telah disusun dalam berbagai mazhab. Ulama lebih banyak mencurahkan perhatian dalam mengomentari, memperluas atau meringkas masalah yang ada dalam kitab fiqh mazhab masing-masing. Lebih jauh, Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa pada periode ini muncullah anggapan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakan beberapa penyebab yang menjadikan tertutupnya pintu ijtihad pada periode ini, yaitu sebagai berikut:1.Munculnya sikap ta'assub madzhab (fanatisme mazhab imamnya) di kalangan pengikut mazhab. Ulama ketika itu merasa lebih baik mengikuti pendapat yang ada dalam mazhab daripada mengikuti metode yang dikembangkan imam mazhabnya untuk melakukan ijtihad;2.Dipilihnya para hakim yang hanya bertaqlid kepada suatu mazhab oleh pihak penguasa untuk menyelesaikan persoalan, sehingga hukum fiqh yang diterapkan hanyalah hukum fiqh mazhabnya; sedangkan sebelum periode ini, para hakim yang ditunjuk oleh penguasa adalah ulama mujtahid yang tidak terikat sama sekali pada suatu mazhab; dan3.Munculnya buku-buku fiqh yang disusun oleh masing-masing mazhab; hal ini pun, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, membuat umat Islam mencukupkan diri mengikuti yang tertulis dalam buku-buku tersebut.Sekalipun ada mujtahid yang melakukan ijtihad ketika itu, ijtihadnya hanya terbatas pada mazhab yang dianutnya. Di samping itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, perkembangan pemikiran fiqh serta metode iitihad menyebabkan banyaknya upaya tarjadi (menguatkan satu pendapat) dari ulama dan munculnya perdebatan antarmazhab di seluruh daerah. Hal ini pun menyebabkan masing-masing pihak/mazhab menyadari kembali kekuatan dan kelemahan masing-masing. Akan tetapi, sebagaimana dituturkan Imam Muhammad Abu Zahrah, perdebatan ini kadang-kadang jauh dari sikap-sikap ilmiah.Periode KeenamPertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah pada tahun 1286 H. Periode ini diawali dengan kelemahan semangat ijtihad dan berkembangnya taklid serta ta'assub (fanatisme) mazhab. Penyelesaian masalah fiqh tidak lagi mengacu pada Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW serta pertimbangan tujuan syara' dalam menetapkan hukum, tetapi telah beralih pada sikap mempertahankan pendapat mazhab secara jumud (konservatif). Upaya mentakhrij (mengembangkan fiqh melalui metode yang dikembangkan imam mazhab) dan mentarjih pun sudah mulai memudar.Ulama merasa sudah cukup dengan mempelajari sebuah kitab fiqh dari kalangan mazhabnya, sehingga penyusunan kitab fiqh pada periode ini pun hanya terbatas pada meringkas dan mengomentari kitab fiqh tertentu. Di akhir periode ini pemikiran ilmiah berubah menjadi hal yang langka. Di samping itu, keinginan penguasa pun sudah masuk ke dalam masalah-masalah fiqh. Pada akhir periode ini dimulai upaya kodifikasi fiqh (hukum) Islam yang seluruhnya diambilkan dari mazhab resmi pemerintah Turki Usmani (Kerajaan Ottoman; 1300-1922), yaitu Mazhab Hanafi, yang dikenal dengan Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah.Periode KetujuhSejak munculnya Majalah al-Ahkam al- 'Adliyyah sampai sekarang. Ada tiga ciri pembentukan fiqh Islam pada periode ini, yaitu:1.Munculnya Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah sebagai hukum perdata umum yang diambilkan dari fiqh Mazhab Hanafi;2.Berkembangnya upaya kodifikasi hukum Islam; dan3.Munculnya pemikiran untuk memanfaatkan berbagai pendapat yang ada di seluruh mazhab, sesuai dengan kebutuhan zaman.Munculnya kodifikasi hukum Islam dalam bentuk Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah dilatarbelakangi oleh kesulitan para hakim dalam menentukan hukum yang akan diterapkan di pengadilan, sementara kitab-kitab fiqh muncul dari berbagai mazhab dan sering dalam satu masalah terdapat beberapa pendapat. Memilih pendapat terkuat dari berbagai kitab fiqh merupakan kesulitan bagi para hakim di pengadilan, di samping memerlukan waktu yang lama. Oleh sebab itu, pemerintah Turki Usmani berpendapat bahwa harus ada satu kitab fiqh/hukum yang bisa dirujuk dan diterapkan di pengadilan.Untuk mencapai tujuan ini dibentuklah sebuah panitia kodifikasi hukum perdata. Pada tahun 1286 H panitia ini berhasil menyusun hukum perdata Turki Usmani yang dinamai dengan Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang terdiri atas 1.851 pasal. Setelah berhasil dengan penyusunan Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah, para penguasa di negeri-negeri Islam yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Turki Usmani mulai pula menyusun kodifikasi hukum secara terbatas, baik bidang perdata, pidana, maupun ketatanegaraan.Pada abad ke-19 muncul berbagai pemikiran di kalangan ulama dari berbagai negara Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari berbagai mazhab serta menimbang dalil yang paling kuat diantara semua pendapat itu. Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja dari mazhab yang empat, tetapi juga dari para sahabat dan thabi'in, dengan syarat bahwa pendapat itu lebih tepat dan sesuai. Bersumber dari berbagai pendapat atas pendapat terkuat dari berbagai mazhab, maka pada tahun 1333 H pemerintah Turki Usmani menyusun kitab hukum keluarga (al-Ahwal asy-Syakhsiyyah) yang merupakan gabungan dari berbagai pendapat mazhab.Di dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat berbagai pemikiran mazhab yang dianggap lebih sesuai diterapkan. Sejak saat itu bermunculanlah kodifikasi hukum Islam dalam berbagai bidang hukum. Pada tahun 1920 dan 1925 pemerintah Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum keluarga yang disaring dari pendapat yang ada dalam berbagai kitab fiqh. Dengan demikian, seluruh pendapat dalam mazhab fiqh merupakan suatu kumpulan hukum dan boleh dipilih untuk diterapkan di berbagai daerah sesuai dengan kebutuhan.Semangat kodifikasi hukum (fiqh) Islam di berbagai negara Islam ikut didorong oleh pengaruh hukum Barat yang mulai merambat ke berbagai dunia Islam. Pengaruh hukum Barat ini menyadarkan ulama untuk merujuk kembali khazanah intelektual mereka dan memilih pendapat mazhab yang tepat diterapkan saat ini. Lebih jauh lagi, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, di daerah yang berpenduduk mayoritas Islam, upaya penerapan hukum Islam dengan beberapa penyesuaian dengan kondisi setempat mulai berkembang. Di banyak negara Islam telah bermunculan hukum keluarga yang diambil dari berbagai pendapat mazhab, seperti di Yordania, Suriah, Sudan, Maroko, Afghanistan, Turki, Iran, Pakistan, Malaysia dan Indonesia.Ali Hasaballah, ahli fiqh dari Mesir, mengatakan bahwa upaya penerapan hukum Islam di berbagai neqara Islam semakin tampak. Akan tetapi, pembentukan dan pengembangan hukum Islam tersebut, menurutnya, tidak harus mengacu kepada kitab-kitab fiqh yang ada, tetapi dengan melakukan ijtihad kembali ke sumber aslinya, yaitu Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW. Menurutnya, ijtihad jama'i (kolektif) harus dikembangkan dengan melibatkan berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya ulama fiqh, tetapi juga ulama dari disiplin ilmu lainnya, seperti bidang kedokteran dan sosiologi. Dengan demikian, hukum fiqh menjadi lebih akomodatif jika dibandingkan dengan hukum fiqh dalam kitab berbagai mazhab.